Suara Kayong ID - Pontianak,- Pada Sabtu 23 Agustus kemarin, sejarah absurd nan agung terjadi di Pontianak. Wapres Gibran Rakabuming tiba-tiba nongol di Warung Kopi Asiang, Jalan Merapi No. 191–193. Sebuah warkop tua. Dari luar tampak sederhana. Tapi, di dalamnya menyimpan sosok legendaris. Dialah Asiang. Barista Pontianak sejak 1958. Ia konsisten menyeduh kopi dengan dada telanjang, tanpa baju, tanpa kompromi, tanpa basa-basi. Untung masih bercelana.
Adegan itu sungguh epik. Seorang Wapres, orang nomor dua ni, wak, berdiri rapi dengan kemeja licin disetrika. Sementara di depannya seorang pria tua berusia 60-an tahun, bertato, berpeluh, dan separuh tubuhnya bersinar pucat akibat lampu neon bercampur uap ketel air mendidih. Seolah-olah sedang berlangsung duel ideologi. Di satu sisi simbol kekuasaan politik, di sisi lain simbol konsistensi harga diri.
Asiang bukan sekadar barista. Ia adalah filsuf jalanan, seorang Socrates tropis yang memilih keringat ketimbang dasi, memilih dada telanjang ketimbang pencitraan. Sejak jam 3 dini hari, ketika sebagian pejabat baru selesai karaoke, Asiang sudah berdiri di dapurnya, bersetia pada ketel mendidih. Dari tangannya lahir ribuan cangkir kopi per hari, ditarik tinggi, lebih tinggi dari harga BBM, lebih presisi dari strategi pemenangan pemilu. Kopinya pahit, manis, sekaligus filosofis, seakan ingin berkata, hidup ini tak bisa kau nikmati tanpa getir.
Lihatlah pengunjungnya. Dari pedagang pasar, dosen, pebisnis, hingga tokoh publik macam Sandiaga Uno, Chef Juna, dan Kak Seto pernah mampir. Bahkan kini Wapres. Apa yang mereka cari? Bukan sekadar kafein. Mereka mencari pengalaman absurd. Mereka hanya melihat seorang pria setengah telanjang menyeduh kopi, lalu menyadari bahwa di balik ketel, harga diri bisa lebih berharga dari protokol istana.
Banyak orang awalnya jijik. “Masa’ ngopi liat ketek?” “Masa’ disuguhi keringat?” Tapi begitulah hidup, yang tampak kotor sering kali justru paling jujur. Asiang tidak munafik. Dia tidak pura-pura sopan, tidak sibuk memakai celemek gaya hipster seperti di kafe mahal Jakarta. Tubuhnya adalah seragam. Keringatnya adalah tanda tangan. Tato di dadanya adalah dokumen sejarah.
Yang lebih ajaib, konsistensinya. Dari 1958 sampai sekarang, dia tetap berdiri di situ. Usianya sudah lebih dari 60 tahun, tapi tangannya masih lincah, matanya masih fokus, dan bicaranya tetap sedikit. Sementara banyak pejabat baru beberapa tahun saja sudah pensiun dini dengan alasan kesehatan, Asiang tetap berdiri di depan ketel mendidih, membuktikan bahwa loyalitas bisa bertahan lebih lama dari janji kampanye.
Warungnya pun berkembang. Selain di Jalan Merapi, kini ada versi modern di Jalan Ayani 1 dan 2, dengan lebih besar dan luas, ada ruang ber-AC untuk tamu yang ingin bebas asap rokok. Tapi satu hal tak pernah berubah, kalau cari Asiang, dia tetap di bawah, di depan ketel, telanjang dada, menyeduh kopi dengan ritme seperti orkestra absurd Pontianak.
Maka jangan heran jika orang luar negeri googling “Pontianak menarik apa?” yang muncul bukan tugu khatulistiwa, bukan sungai Kapuas, tapi Asiang. Karena ternyata kebesaran kota bisa lahir dari dada seseorang yang menolak pakai baju.
Di situlah filsafat harga diri. Gibran boleh wapres, Sandiaga boleh menteri, Chef Juna boleh galak, tapi semua tunduk pada kopi Asiang. Sebab Asiang tak berubah demi siapa pun. Kalau besok PBB bikin sidang darurat di Pontianak, ia tetap telanjang dada. Kalau Elon Musk datang minta kopi pancong, ia tetap telanjang dada. Kalau malaikat maut pun datang menjemput, ia mungkin masih sempat berkata, “sebentar, biar saya selesaikan satu cangkir lagi.”
Itulah mengapa orang hanya bisa geleng kepala lalu berkata, kok bisa ya?
Kalau ingin ke Pontianak, tak sah rasanya belum mencoba kopi Asiang. Tanpa endose, kopinya sudah terkenal, kok.
#camanewak
Rosadi Jamani
HM

Social Header